Gelandangan
Sudah Miskin Makin Miskin
RKUHP
RKUHP
Muhammad Alfarisi (19030082)
Penerbitan 1B
Sebuah peristiwa
menghebohkan masyarakat akhir-akhir ini, dimana DPR-RI periode tahun 2014-2019
akan segera berakhir malah membuat manuver politik yang dinilai oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia terburu-buru dan tidak melakukan kajian secara
mendalam dan menyeluruh. DPR-RI periode tersebut membuat sebuah revisi
undang-undang dan undang-undang yang sudah disahkan beberapa minggu yang lalu,
revisi undang-undang tersebut adalah RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan,
RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba (mineral dan batu bara), dan RUU PKS, dan undang-undang yang sudah disahkan tersebut
adalah UU KPK. Ke 6 RUU dan 1 UU tersebut membuat masyarakat Indonesia marah
dan kesal yang akhirnya membuat berbagai elemen masyarakat yang salah satunya adalah
mahasiswa menggelar aksi dan menyuarakan penolakan keras terhadap apa yang
DPR-RI lakukan tersebut.
Salah satu pertimbangan
untuk segera disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana
(RUU KUHP) adalah untuk mewujudkan hukum pidana nasional NKRI berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar NKRI tahun 1945, serta asas hukum yang
diakui masyarakat beradab. Untuk itu, perlu disusun hukum pidana nasional untuk
mengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda.
DPR-RI dinilai terlalu
ngebut untuk menyelesaikan undang-undang tersebut diakhir masa jabatannya yang
akan segera berakhir pada tanggal 30 September 2019, kemudian menyebabkan RUU
yang bermasalah. Salah satu RUU tersebut ialah RUU KUHP, dalam RUU KUHP
tersebut mengandung banyak pasal-pasal yang kontroversial dikalangan masyarakat
Indonesia. Diantara pasal-pasal yang kontroversial tersebut terdapat satu pasal
yang sangat mebuat bingung masyarakat yaitu pasal tentang gelandangan yang akan
dijatuhi pidana denda 1 juta rupiah.
Dalam pasal 432 menyatakan bahwa setiap orang yang
bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum
dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (1 juta rupiah)(sumber
tribunnews.com).
Menurut pandangan ahli pasal ini juga dinilai multitafsir
dan dapat menimbulkan kerawanan warga yang bisa menghakimi orang yang berada di
jalanan (sumber tribunnews.com).
Sebenarnya pasal tentang gelandangan ini sudah diatur
dalam KUHP sebelumnya, tetapi pada KUHP sebelumnya itu gelandangan hanya
dikenakan hukum pidana bukan seperti di RKUHP yang dikenakan sanksi denda.
(sumber jambi.tribunnews.com)
Pasal di dalam KUHP sebelumnya berbunyi, Pasal 505
Ayat 1 menyatakan, barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencarian,
diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga
bulan. Kemudian, dalam Pasal 505 ayat 2 diatur, pergelandangan yang dilakukan
bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas 16
tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. (sumber
jambi.tribunnews.com)
Anggota DPR Nasir Djamil berdalih, penerapan denda
tersebut bagi gelandangan bertujuan untuk menjaga ketertiban umum. "Kalau
soal itu, kan terkait dengan bagaimana menjaga ketertiban umum. Jadi kita
memang tidak bisa melihat gelandangan dalam arti yang seperti sekarang
ini," ujar Nasir saat dihubungi wartawan tribunnews.com, Kamis
(19/9/2019). (sumber jambi.tribunnews.com)
Selain mengatakan untuk menjaga ketertiban umum Nasir
Djamil mengatakan, pasal ini juga bertujuan untuk mendorong agar pemerintah berupaya
mengurangi jumlah gelandangan. (sumber jambi.tribunnews.com)
Ketika ditanya alasan mengenai penerapan hukuman
denda, Nasir berdalih, hal itu menjadi instrument untuk memaksa pemerintah agar
memperhatikan warganya. "Makanya
justru itu negara harus bertanggung jawab agar warganya tidak jadi gelandangan.
Kalau kita ngomong seperti ini seolah tidak nyambung, tetapi sebenarnya ini
hukum tidak bisa berdiri sendiri," kata politisi dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) itu. (sumber jambi.tribunnews.com)
Sambung Nasir, "Jadi ini secara tidak langsung
pemerintah dan penyelenggara negara akan memperhatikan warga negaranya,".
(sumber jambi.tribunnews.com)
Disampaikan lagi oleh pada hari Jumat (20/9/2019). "Maksudnya
ini undang-undang mengharuskan yang namanya pemerintah melindungi supaya
bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara, dilindungi oleh
negara," kata Nasir kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan. (sumber
cnnindonesia.com)
Menurutnya, dari RKUHP pemerintah berkewajibkan
memberi perlindungan penuh kepada warga negaranya agar tidak menjadi
gelandangan. (sumber cnnindonesia.com)
Dikutip dari news.detik.com mungkin apa yang diinginkan
DPR-RI saat ini sama seperti apa yang diinginkan oleh Soetandyo Wignyosoebroto
yang menginginkan merubah hukum kolonial Belanda, menurut Soetandyo
Wignyosoebroto, KUHP Belanda yang melarang gelandangan sebagai implementasi
semangat masyarakat Eropa kala itu. Ia menceritakan sejarah terbentuknya KUHP
yaitu dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda. Lalu dibawa penjajah ke
Indonesia pada 1872. Hingga diberlakukan secara nasional pada 1918 oleh
pemerintah kolonial di seluruh Nusantara.
"Pertimbangan pergelandangan dilarang dan bisa
dipidana karena orang Eropa tidak suka. Mereka berpikir manusia harus bekerja
keras dan hidup hemat. Sehingga apabila ada yang miskin dan menggelandang itu
salahnya sendiri," ujar Soetandyo saat berbincang dengan detikcom pada
2012 lalu. (sumber news.detik.com)
Filosofi pikir orang Eropa tidak bisa diterima di
Indonesia. Sebab dalam kacamata agama yang dianut masyarakat Indonesia, seperti
Islam, orang miskin harus diberi sedekah dan disantuni. (sumber news.detik.com)
"Kalau itu kan sudah tafsir moral. Tapi kan kita
punya pijakan UUD 1945 yang harus dipatuhi seluruh rakyat Indonesia," ujar
Soetandyo yang wafat pada September 2013.Dia sangat berharap MK punya kearifan
untuk menghapus pasal gelandangan tersebut. Sebab meskipun tidak dibatalkan di
MK, semua hakim tidak boleh menggunakan pasal tersebut karena tidak relevan. (sumber
news.detik.com)
"Hakikat orang dipidana kan karena melanggar
hukum. Tapi hukumnya siapa? Apa iya karena melanggar hukum kolonial
Belanda?" tanya balik Soetandyo. (sumber news.detik.com)
Melihat dari apa yang disampaikan dan yang diinginkan
oleh Nasir Djamil atau DPR-RI saat ini dengan apa yang disampaikan oleh Soetandyo
Wignyosoebroto tersebut secara garis besar sama, tetapi penyelesaiannya saja
yang berbeda.
Dikutip dari news.detik.com para perwakilan Anak Punk
ikut turun untuk berdemonstrasi pada Kamis, 26 September 2019 di jalan depan
Restoran Pulau Dua, Jalan Gatot Subroto. Massa tersebut menolak pasal 432 ini
yang menyatakan gelandangan di denda 1 juta. Pada saat itu massa memang tidak
melakukan orasi seperti apa yang dilakukan para mahasiswa sebelumnya tetapi
mereka hanya menunjukan poster-poster yang menjadi tuntutan mereka.
Sementara itu menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP
menyoroti aturan tersebut. Mereka menilai Pasal 432 itu berpotensi menjadi
masalah kriminalisasi yang berlebihan. (sumber cnnindonesia.com)
"Isu yang paling menggelikan (dalam RKUHP) adalah
masalah penggelandangan yang diancam dengan pidana denda hingga Rp1 juta,"
tulis YLBHI melalui keterangan di laman resmi. (sumber cnnindonesia.com)
Menurut Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan
Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono
memiliki tujuan yang sama seperti apa yang disampaikan oleh Yayasan Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa dia juga menolak pasal 432 tersebut dan menyebut,
Pasal 432 pada rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bertentangan
dengan UUD 1945. (sumber nasional.kompas.com)
Apa yang disampaikan oleh Direktur Puskapsi itu
mengacu pada Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan
anak telantar dipelihara oleh negara.
"Pasal 432 KUHP ini bertentangan dengan UUD 1945.
Ini jelas berpotensi kriminalisasi terhadap masyarakat tidak mampu yang hak
konstitusionalnya harusnya dipelihara negara sebenarnya karena sudah dijamin
konstitusi," ujar Bayu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (20/9/2019). (sumber
nasional.kompas.com)
Tambah Bayu “Semestinya, pasal itu dihapuskan saja
atau diberikan penjelasan mengenai definisi frasa "setiap orang yang
bergelandangan". (sumber nasional.kompas.com)
Dengan tidak adanya penjelasan definisi tentang
gelandangan yang mengganggu ketertiban umum, Pasal 432 RKUHP juga berpotensi
mengkriminalisasi kelompok masyarakat miskin. (sumber nasional.kompas.com)
Mereka di antaranya pengamen, tukang parkir, serta
orang disabilitas yang telantar. Menurut Direktur Puskapsi, ironis jika RKUHP
disahkan karena tak mungkin kelompok masyarakat tersebut mampu membayar denda
sendiri. "Karena masih banyaknya permasalahan, ya sebaiknya pemerintah dan
DPR tidak mengesahkan RKUHP. Jangan dipaksakan. Kalau disahkan, malah langkah
mundur demokratisasi," kata dia. (sumber nasional.kompas.com)
Salah satu perwakilan anak punk yang di wawancarai
oleh news.detik.com, Yusuf Bahtiar menolak pasal kontroversial RUU KUHP terutama
pasal 432 ini.
"Itu kan dari berbagai pasal itu kan ada yang
kontroversi. Seperti gelandangan didenda Rp 1 juta. Itu kan kalau misalkan
gelandangan didenda Rp 1 juta kan itu uangnya dari mana?" kata Yusuf
kepada wartawan detik.com.
Menkumham mengatakan "Pengemis ada di KUHP. Kita
atur justru kita mudahkan, kita kurangi hukumannya," kata Yasonna Laoly.
(sumber bali.idntimes.com)
Tambah Menkumham Yasonna Laoly pada acara Indonesia
Lawyers Club bahwa sebenarnya setiap RUU yang akan disahkan tersebut sudah melewati
sosialisasi sebelumnya.
Tetapi apa yang dikatakan oleh Menkumham tersebut dikritik
oleh bapak Haris Azhar pada acara yang sama yaitu ILC, bahwa untuk mengesahkan
pasal tersebut tidak bisa hanya sekedar mengandalkan UU No. 12 tahun 2011
tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang hanya atau
harus ke kampus-kampus, karena gembel tidak ada di kampus dan tidak mungkin
mereka nongkrong di kampus-kampus jadi mana mungkin mereka mengetahui dan
mengerti tentang peraturan perundang-undangan tersebut.
Ada kutipan yang dikatakan oleh Menkumham di ILC juga,
bahwa jika gelandangan tersebut tidak dapat membayar denda tersebut, maka ada
kemungkinan dia bisa dikenakan kerja sosial bahkan didik agar tidak melakukan
hal yang sama lagi.
Selain ada banyaknya pendapat dari para ahli yang
menentang dan mendukung salah satu pasal dalam RUU KUHP ini, ada juga seorang
yang mengaku sebagai mahasiswa hukum yang berbeda pendapat dengan kebanyakan
mahasiswa lain diluar sana, jika para mahasiswa lain diluar sana menolak pasal 432
ini sedangkan ia malah terlihat seperti mendukungnya dapat dilihat dari
cuitan-cuitannya di Twitter.
Pria yang menggunakan akun Twitter bernama @AriaGanaa
mengunggah beragam cuitan tanggapan terkait 11 poin kontroversial RUU KUHP yang
disebut dalam gerakan #TolakRUUKUHP. (sumber suara.com)
Ia menilai ada beberapa poin tersebut maknanya
dibelokkan sehingga tidak sesuai dengan aturan dalam rancangan undang-undang
yang di keluarkan oleh DPR-RI. (sumber suara.com)
Seperti yang dicontohkan dalam poin kedua yang
menyebut, pekerja perempuan yang pulang malam dan terlunta-lunta atau dituduh
sebagai gelandangan bisa didenda Rp 1 juta. (sumber suara.com)
Menurut @AriaGaana tanggapan tersebut menyimpang dari
isi Pasal 432 RUU KUHP tentang Penggelandangan. (sumber suara.com)
"Wow
intepretasi pakai metode apa itu dari bunyi pasal seperti ini berubah kayak
gitu? penjelasan pasal pun tidak seperti itu. Imajinasinya sangat luar biasa
ya?" tulisnya dalam lini Twitter. (sumber suara.com)
Dalam Pasal 432 disebutkan, Setiap orang yang
bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum
dipidana dengan pidana paling banyak Kategori I. (sumber suara.com)
Mahasiswa hukum tersebut memberi sanggahan dengan
mengacu pada Pasal 1 ayat (1) dan (2) RUU KUHP. (sumber suara.com)
"Oh ya, kalau gitu orang pulang malam ga
dipidana? ya gak lah, ada asas umum yang tertuang dalam Pasal 1 (1) RUU KUHP
(asas legalistas). Oh ya perbuatan ts tadi dilarang lo pada Pasal 1 (2) karena
menggunakan analogi untuk menentukan delik justru yang jadi permasalahan adalah
adanya frasa," imbuhnya di Twitter. (sumber suara.com)
Sementara itu bunyi kedua Pasal 1 ayat (1) dan (2) RUU KUHP sebagai
berikut.
Pasal 1 ayat (1): Tidak ada satu perbuatan pun yang
dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan. (sumber suara.com)
Dan pada Pasal 1 ayat (2): Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana
dilarang digunakan analogi.
Warganet yang bersangkutan mengklaim apa yang ia bahas
merupakan second opinion dan bukan penolakan dari gerakan #TolakRUUKUHP yang
ramai diserukan di media sosial. (sumber suara.com)
Meskipun begitu pasal ini juga masih dalam perdebatan
panjang karena dinilai dapat membuat gelandangan yang sudah miskin akan semakin
miskin, karena menurut sudut pandang mereka uang dengan nilai nominal Rp.
1.000.000,- itu sangat besar karena untuk makan saja mereka sudah susah apalagi
dengan nilai uang segitu.
Untungnya rencana disahkannya RUU KUHP ini kandas,
dikarenakan Presiden Jokowi menunda pengesahan RUU tersebut. Biar bagaimanapun
dalam pengesahan sebuah Undang-Undang harus ada persetujuan kedua belah pihak,
baik Pemerintah dan DPR.
Walaupun begitu gejolak penolakan akan adanya revisi undang-undang
tersebut disuarakan oleh berbagai macam elemen masyarakat, karena menurut
mereka tuntutan mereka masih belum terpenuhi karena apa yang mereka inginkan
adalah menolak RUU tersebut bukan menundanya.
Demonstrasi besar-besaran terus disampaikan oleh
berbagai macam kalangan hingga pelajar pun ikut-ikutan dalam demonstrasi
tersebut, dimulai dari tanggal 23 September 2019 hingga 1 Oktober 2019.
Mereka yang menolak adanya RUU tersebut menginginkan
agar anggota DPR-RI yang baru saja dilantik pada tanggal 1 Oktober kemarin itu
bisa lebih berwibawa dan lebih mendengarkan aspirasi masyarakat Indonesia tidak
seperti apa yang dilakukan oleh DPR-RI periode sebelumnya.
Semoga saja apa yang masyarakat Indonesia inginkan
dapat didengar oleh para wakil rakyat yang baru di MPR, DPR, dan DPD dan dapat
membuat rakyat bisa lebih percaya lagi kepada mereka, karena bagaimanapun juga
mereka dipilih oleh rakyat Indonesia itu sendiri untuk bisa berada di kursi
MPR, DPR, dan DPD yang seharusnya mereka dapat menyerap seluruh aspirasi
masyarakat Indonesia, sehingga tidak terjadi lagi demonstrasi besar-besar
seperti saat ini yang dimulai dari rasa tidak percaya kepada para wakil rakyat
disana. Sekian dari apa yang saya sampaikan pada tulisan di blog saya ini, saya
Muhammad Alfarisi mengucapkan terimakasih dan sampai jumpa di artikel-artikel
saya selanjutnya.
Berikut berbagai macam sumber yang saya kutip dalam artikel ini :
Comments
Post a Comment